Mysterius Man
.
.
Lagi-lagi aku harus mendengar ocehan pelanggan satu ini. Memuakkan memang, dia begitu cerewet dan selalu meminta cepat dan benar-benar membuatku pusing. Bahkan ia tidak mau tahu kalau stock barang habis dan harus menunggu.
"Iya, Oma. Anda harus menunggu paling tidak dua hari kedepan." Aku mencoba berkata selembut mungkin. Walau sebenarnya aku dongkol setengah mati dengan segala omelannya, yang memaksa kalau barangnya harus ada besok.
Pria bernama Naruto itu seakan memperhatikanku. Aku jadi salah tingkah sendiri. Namun, orang yang sedang nyerocos di telepon mampu menghilangkan rasa risihku akan pandangan Naruto.
Dan pada akhirnya Si Oma rese itu menutup teleponnya. Pliese, aku ingin melempar wajahnya dengan sepatu hak tinggi ku. Kalau seandainya aku bertemu dengan perempuan manula itu.
"Hinata."
Dia memanggilku? Aku sungguh malas mengakuinya kalau setiap dia menyebut namaku, selalu saja Ada perasaan nervous. Perempuan manapun pasti merasakan hal yang sama denganku kalau mereka juga mengalaminya.
Aku menoleh dengan memasang wajah malas. Sepertinya untuk kali ini aku harus berakting biasa-biasa saja padanya. Walaupun jujur saja dia memang mengalahkan Gaara, mantan pacarku yang akhir-akhir ini ingin sekali aku lupakan.
"Bisa antar aku ke gudang?" Aku mngernyit heran. Untuk apa dia ke gudang? Lagipula inikan kantor ehm Papanya. Kenapa harus minta tolong padaku? Toh kesasar pun dia pasti banyak yang membantu.
"Ini, kan kantor Papamu? Masa iya ke gudang saja bakal kesasar."
Ah, tatapan itu. Tatapan dingin seorang pembunuh. Sedikit merinding sih melihatnya. Tapi aku mencoba biasa-biasa saja.
Ia tersenyum sinis. "Kantor Papa, bukan kantorku. Ini memang milik Papa bukan berarti milikku juga." Suaranya dingin, seakan rasa sepi begitu menyelimuti.
Aku masih belum paham tentang dia. Bahkan, otakku masih terus merekam kata-kata Sakura. Kalau saja dia nggak aneh. Aku pasti bakal naksir sama dia. Apa yang dimaksud aneh aku tidak mengerti.
"Nona, Hinata. Aku nggak minta kamu melamun. Aku minta kamu nganterin aku." Suara dingnnya membuyarkan lamunanku.
"Iya, iya. Sekalian mau cek stok barang ke Sasuke," ucapku sedikit judes.
Aku berjalan mendahuluinya. Ia mengekor di belakangku, sesekali aku menyapa beberapa orang-orang kantor. "Kamu cukup terkenal di kantor."
Tiba-tiba saja dia nyeletuk. "Ya ... Lumayan." Aku menjawab cukup singkat.
"Masih jauh gudangnya?" Ia bertanya lagi, mensejajarkan jalannya denganku.
"Nggak, di depan situ gudangnya," jawabku.
"Itu," ucapku menunjuk pada gudang yang tidak jauh dari tempatku berdiri. Setelahnya, aku berjalan ke kantor Sasuke seorang kepala bagian penerimaan barang. Pria barambut hitam dan bermata legam itu cukup populer di kantor ini. Tapi mungkin untuk saat ini dia dikalahkan si Naruto pria misterius.
"Hei, Sas," sapaku, nyengir tanpa dosa.
"Hei juga, ada apa kemari?" tanyanya mengulas senyum.
"Nggak kok, aku cuma mau cek saja. Stok minuman isotonik masih ada nggak? Ah aku bener-bener stress sama perempuan manula itu. Maksa banget minta barangnya langsung ada." Aku mengeluh.
"Oma Tsunade ya?" Sasuke tertawa mengejek.
"Jangan ngejek kamu. Ada nggak sih. Pliese tolongin aku." Aku merengek, layaknya anak kecil meminta mainan.
"Ada kok."
"Fiuh, syukurlah." Aku benar-benar merasa lega. Buakannya apa. Aku hanya tidak mau lagi harus berurusan dengan nenek sihir payah itu.
"Loh, Sas, kamu bilang tadi nggak ada. Kok, sekarang bilangnya ada?" Seorang pria bernama Chouji memprotes. Dia juga bagian Marketing sama sepertiku. Tapi dia bisa dibilang seniorku.
"Kamu cuma nggak tahu saja gimana caranya membujuk Mister Maskulin ini," ucapku.
"Ah, mungkin karena aku Pria gendut yang suka makan. Jadi Sasuke tidak tertarik denganku." Chouji terkikik geli.
"Haha, yang benar saja, kalau dia sampai tertarik padamu. Gempar seisi kantor." Aku menimpali.
"Hinata, beritahu lah gimana ngeluluhin hati Mister Sasuke ini," ucap Chouji, matanya berkilat jahil.
"Kamu mesti cari tahu rahasia terbesar dia," Aku terkikik.
Sasuke mendelik. Aku menutup mulutku dengan jari-jariku di sela kikikanku. Seorang Sasuke yang memiliki julukan Mister Perfecto itu, tidaklah sepenuhnya sempurna. Ya meski terlihat alim begitu, siapa sangka dia adalah pengoleksi majalah dewasa, its so hot.
Aku memergokinya saat aku mengantarkan dress yang di pesan Tante Mikoto, Mamanya. Bisa dibilang Tante Mikoto adalah langganan baju butik milik Mama. Yang membuatku curiga, awalnya dia begitu gugup saat aku tiba-tiba masuk ke kamarnya. Menyelipkan sesuatu di bawah tempat tidurnya.
"What the hell? Kedatanganku sepertinya membuatmu nggak nyaman. Kamu menyembunyikan sesuatu." Aku tersenyum jahil.
"Kamu itu sembarangan masuk kamar orang. Lagipula aku nggak nyembunyiin apa-apa," kilahnya.
"Hmm ... Dengan wajah gugup begitu yakin nggak nyembunyiin, itu?" Aku menunjuk pada buku yang sedikit nyempil di pinggiran tempat tidur.
Damn, dia kehilangan akal untuk berkilah. Pada akhirnya dia mengakuinya. Kesepakatan pun terjadi antara aku dan dia. Aku tahu kalau dia sangat menyukai Sakura, untuk tutup mulut dia berjanji akan menyisakan stok barang untukku, setiap kali barang akan habis. Cukup jahat memang, tapi dalam bekerja itu harus penuh taktik dan trik. Yang penting tidak mencari muka pada atasan.
"Sudahlah, kalian senang sekali menggodaku." ucap Sasuke, melempar remasan kertas kecil pada Chouji.
"Hei, kudengar ada orang baru di tempatmu?" tanya Sasuke.
Aku diam sejenak. "Iya sih, dia anak big boss loh."
Keduanya nampak terheran dengan ucapanku. "Loh, kalian kenapa?" Aku pun merasa aneh.
"Pria yang duduk di sebelahmu tadi anak Pak Minato? Yang benar saja." Nada bicara Chouji seakan tidak percaya.
"Loh, memangnya kenapa? Memangnya ada yang salah dengan itu?" Aku semakin penasaran. Kupikir mereka memang sudah tahu, sebab mereka sudah cukup lama bekerja di sini. Apalagi Sasuke, dia menggantikan Ayahnya yang sudah lama bekerja pada Bapak Minato.
"Selama yang aku tahu dari Papa. Pak Minato hanya punya dua anak. Dan dua-duanya sudah meninggal. Jadi bisa dibilang dia sudah tidak memiliki anak lagi," jelas Sasuke.
Aku memasang wajah aneh. Itu sungguh membuatku berpikir apakah Sakura berbohong padaku? Tapi jelas-jelas tidak mungkin. Wajah keduanya cukup mirip. Apalagi, tadi pagi Pak Minato juga sempat memanggil Naruto. Atau ada sesuatu yang di tutup-tutupi. Mungkin saja, terlihat dari sikap Naruto yang sepertinya tidak akrab dengan Pak Minato. Serta tatapan dingin yang menyiratkan kesepian dari Naruto.
"Aku sudah selesai." Ah suara seksi Naruto lagi-lagi membangunkanku dari lamunan.
"Kamu balik sendiri bisa, kan? Aku masih mau ke bagian purchasing."
Dia hanya mengangguk, lalu pergi. Aku melirik pada Sasuke dan Chouji, keduanya memasang wajah aneh. Tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Namun, aku benar-benar haus informasi terhadap seorang Naruto.
"Oke, aku pergi dulu. Salam dari Si Rambut Pink." Aku langsung pergi sebelum mendapat semprotan dari Sasuke.
Setelah semuanya selesai, aku kembali ke mejaku. Ku lihat meja Naruto tak berpenghuni. Entah kemana dia aku tidak tahu. Aku berjengit pelan, jangan-jangan dia kesasar. Ya ampun apa yang harus aku lakukan kalau dia benar-benar tersesat.
Aku berjalan mencarinya, merepotkan sekali. Entah kenapa aku merasa bertanggung jawab. Sebab, dia satu tempat denganku dan dia termasuk orang baru. Huft, aku tidak menyangka kalau pekerjaanku akan bertambah serumit ini.
Fiuh, akhirnya aku menemukannya. Namun, aku tidak berani mendekat. Kini dia sedang berbicara dengan Ayahnya, bigg boss yang juga memiliki sifat dingin sama seperti Naruto. Kulihat cukup serius, tidak lama percakapan mereka selesai. Ia melihatku, aku melipat kedua tanganku didepan dada. Memasang wajah datar padanya.
"Sedang apa kamu kemari?" Nadanya yang sedikit sinis itu, terkadang membuatku kesal. Bisa tidak sih dia bicara agak ramah.
"Aku sudah capek mencarimu keliling kantor. Bicara kamu gitu banget?" ucapku memasang wajah kesal.
"Ya aneh saja, aku kan sudah dewasa. Nggak perlu dicari kayak anak kecil yang kehilangan ibunya."
Aku mendecih sebal. "Tahu begitu, aku tidak repot-repot mencarimu." Aku berjalan dengan langkah kaki yang ku hentak-hentakkan.
"Besok, kamu harus ikut aku." Aku mengernyit mendengar ajakannya.
"Aku? Kemana?"
"Ke sini." Ia menyodorkan sebuah undangan pernikahan padaku.
"Mau ke kondangan? Kenapa mengajakku? Kalau aku nggak mau gimana?" ucapku mencoba jual mahal. Padahal, aku benar-benar mau pingsan rasanya, akan di ajak seorang Naruto ke acara pernikahan temannya. Yang pastinya itu pernikahan orang elite.
"Aku nggak peduli, kamu harus mau," ucapnya begitu datar.
"Ih, maksa banget sih. Emang kamu nggak punya pacar ya buat di ajak?" Aku memancingnya, ingin tahu statusnya apakah masih lajang atau sudah double.
Matanya berubah gelap. Dengan wajah muram ia berucap. "Seandainya aku punya, aku hanya ingin wanita yang tulus."
Aku mengernyit, memandang aneh pada dirinya. Jadi dia single. Cukup lega aku mendengarnya. "Emm ... Begitu ya? Tapi kenapa harus aku? Kamu kan bisa ngajak wanita lain, Sakura mungkin. Kamu kan sudah kenal lama juga sama dia."
"Aku nggak bisa ngajak dia. Terlalu mencolok."
"What? Mrnurutku seorang sakura nggak mencolok. Dia terlihat perfect," ucapku memuji Sakura.
Ia mendengus menatap muram padaku. "Tidak ada manusia yang perfect, semuanya penuh kekurangan."
"Iya sih, kamu benar. Tapi jujur, aku nggak punya baju pesta yang sekelas orang-orangmu." Aku masih beralasan.
"Nggak usah khawatir soal itu. Aku bisa mengatasinya. Yang penting besok kamu harus sudah siap jam tujuh malam." Sepertinya keputusannya memang bulat untuk mengajakku.
Aku mendesah pasrah. Aku senang sih, tapi aku grogi juga. Untuk pertama kali aku akan pergi ke acara orang-orang kelas atas. Aku tidak tahu apakah besok menjadi sesuatu yang berkesan atau malah menjadi hal buruk bagiku. Mengetahui seorang Naruto yang dingin dengan hidupnya yang Misterius.
TBC